Hangat Laut dan Ibu

Ku kira aku akan mengumpulkan cerita untuknya, seperti yang telah ibuku pesan, “sebungkus postcard dari berbagai negara ya nak” ucapnya saat itu.

Hangat Laut dan Ibu
ilustrasi hangat laut dan ibu

Sebelum keberangkatan, laut itu melambai melihatku menatapnya, aku kira saat itu laut sedang bahagia karena ia memainkan ombak-ombak kecilnya dihadapanku, menyambut kedatanganku untuk menjelajahinya. Aku tersenyum pada tepi pantai, kemudian beralih pada ibuku, ia melepasku untuk mengarung dan mengarus hingga nanti aku pulang dengan ceritaku di batas cakrawala sejauh yang dapat mereka lihat dari daratan.

Ku kira aku akan mengumpulkan cerita untuknya, seperti yang telah ibuku pesan, “sebungkus postcard dari berbagai negara ya nak” ucapnya saat itu.

Aku yakin saat itu senyumku lebih lebar dari pramugari pesawat. 15 Februari, pertama kali aku pergi melaut bersama 22 awak kapal lainya. Kami dijanjikan akan menjadi petualang berkedok kerja, atau imajinasi kami yang berkata kami akan berpetualang. Ribuan dollar akan kami dapatkan dengan bekerja untuk menjadi anak buah kapal (ABK) hanya selama satu tahun saja. Bergantian mengelilingi pelabuhan antar negara hingga mungkin bertemu Grand Line seperti serial One Piece. Bahkan, sebagian dari kami rela meninggalkan keluarga kami, anak-anak kami, hingga kecintaan kami pada negeri pijakan dan kasur empuk untuk sesuatu yang lebih bernilai.

Akupun mulai berkenalan dengan laut
Ku katakan padanya kalau aku meninggalkan ibuku untuk mengenalinya
Laut tak menjawabku saat itu

Hidup kami di kapal berlalu dengan tenang pada satu bulan pertama. Kami dibiarkan untuk melakukan aktivitas harian biasa seperti merawat kapal, memperbaiki mesin, mengatur navigasi, hingga menangkap beberapa tangkapan laut. Kabarnya pemberhentian pertama kami adalah Korea Selatan. Setidaknya itu yang kami percaya. Akupun berkenalan dengan Taryana, ia bercerita bagaimana melaut adalah impianya sejak ia kehilangan seluruh anggota keluarganya. Kami menjadi sedikit akrab hingga mungkin dapat sedikit berbagi kisah petualangan hidup di masa lalu kami.

Pada pukul satu pagi, aku dan Taryana meperhatikan alat tangkap yang naik menghampiri deck kapal dengan angin dingin yang tak berhenti menghujani kami. Namun tiba-tiba saat itu, kapten kapal menyuruh kami untuk berkumpul di deck utama. Secara sekejap, kapal ini telah menduplikasikan dirinya menjadi dua seakan kami tidak menyadari kedatangan kapal baru sedari tadi. Ternyata, saat itu adalah pertunjukan pertama untuk ditampilkan. Kami dipaksa secara kasar untuk membagi tim dan berpindah sebagian ke kapal selanjutnya. Sedikit keributan dan ketegangan terjadi sebelum akhirnya kami benar-benar mengalah pada kru kapal yang badanya kekar dengan aksi kasar tak terkira. Tidak hanya tim kami yang terpecah saat itu, juga impian, harapan, dan semangat kami yang mulai tertekan turun akibat peristiwa keributan malam itu.

Korea selatan dimana ya lautku? aku kembali bertanya padanya
Kenapa kau tak kunjung membawakanya pada kami sedang kami berlayar sudah satu semester lamanya
Laut lagi-lagi tak menjawab

Pekerjaan kami berangsur-angsur semakin tak masuk akal. Kami tak makan selayaknya, tak tidur semestinya, dan tak bernapas sebebasnya. Setelah pemisaha anggota dilakukan, kini tinggal aku dan ke-empat orang lainya yang tersisa. Yang lainya lagi? entah kemana, mungkin dikirimkan ke korea utara? atau kembali ke rumah mereka. Ntahlah. Pikiran ku sudah mulai mementingkan diri sendiri saja daripada orang lain. Kami dipaksa untuk melakukan pekerjaan kapal dan menangkap berbagai tangkapan tanpa henti dengan sedetik waktu istirahat saja – mungkin sangat sedikit. Mulai dari ikan jenis sarden hingga tuna atau sumber daya lainya yang memungkinkan untuk dikuras rasanya sudah kami habiskan tanpa terkecuali. Sirip hiu yang berkali-kali kami potong, mungkin sudah sejuta peti kami berikan pada beberapa kapal penjemputan. Ketika kapal transit di daratan, kami dikunci pada badan kapal supaya tidak dapat kabur atau bisa sedikit menginjak-injak pasir pantai. Begitu keluar, kami akan kembali melihat hamparan air asin sejauh mata memandang. Tak ada hotel, cafe, maupun stadion pertandingan bola. Tak ada tukang bakso goreng, pop mie, dan suasana khas daratan lainya sudah tak bisa kami rasakan lagi. Begitupun waktu yang tak bisa kami perkirakan jalanya ke mana, apakah maju atau mundur kembali ke masa lalu? semua rasanya begitu fana.

Jangankan memenuhi janji sekantong postcard, suara ibuku saja sudah sedikit samar dan hilang di pikiranku. Mungkin karena kasarnya pekerjaan yang sudah kubiasakan ini hingga tak ada yang begitu terpikirkan lagi selain cukup untuk menjaga hidupku kali ini. Namun, jika bicara rindu, tentu kami semua disini merindukan rumah yang kami tinggalkan. Mungkin saat itu adalah kesalahan fatal karena kami tidak mencari informasi lebih banyak mengenai jasa pekerjaan ini sebelumnya, hingga kami rela begitu saja menggadaikan tubuh kami demi janji benefit yang kami harapkan. Cukup terasa meyakinkan saja tidaklah cukup, harusnya saat itu, akupun mempercayai gosip tetanggaku yang bilang bahwa untuk bekerja di atas kapal perlu berhati-hati dan memeriksa dokumen kepercayaan perusahaan yang akan membawa kami.

Laut, aku mulai muak melihatmu membiru setiap pagi
Aku tau ini adalah tempat kesedihan, namun tak bisakah kau menampakan warna lainya?
Aku tau ini adalah tempat kekecewaan, tapi tak bisakah kau menghiburku sekali saja?
Laut lagi-lagi tidak menjawab

Aku terbangun pada malam gelap di antara mesin kapal yang sedikit bergoyang karena gelombang. Samar-samar aku melihat Arya, kawanku yang mengurus mesin saat itu sedang tergeletak menyandarkan dirinya pada sebuah pipa besar. Sial, kami terjatuh karena kelaparan, atau kelelahan, atau penyakit, atau apapun itu pokonya segala hal yang mengikis jiwa telah terjadi. Sebagian dari kami mungkin sama-sama menceritakan kesakitan tanpa suara. Kami ingin pulang. Aku ingin menemui ibuku dengan sekantong udara kosong saja, tanpa perlu postcard, aku ingin menemuinya saat ini.

Laut, sebentar saja bisa kau tenangkan gelombang? aku ingin tidur sebentar saja
Kala itu laut menghentikan gelombangnya
Yes laut menjawab! LAUT MENJAWABKU HAHA! Arya? dimana dia tadi?

Aku ingin sekali memanggilnya tapi saat ini terlalu tenang untuku, aku belum ingin bangun dulu. Sampai saat aku mendengar sedikit suara gemuruh air yang semakin lama semakin samar, dan hilang. Setelah itu aku merasa hangat, sangat hangat seperti saat ibuku memeluku sebelum keberangkatan. Hari ini sudah tanggal 2 april ya, pantas saja laut menjawabku, hari ini hari ulangtahunku, mungkin aku sudah pulang menemui ibuku karena ia pasti merayakanya. Aku tak lagi menghirup udara asin laut, aku sudah sampai di rumah.

Satu jenazah WNI dilarung di laut akibat menderita sakit saat bekerja di kapal. Pelarungan merupakan keputusan untuk mengistirahatkan jenazah di laut lepas. Jenazah yang meninggal di kapal dapat di larung dengan syarat tertentu. Namun, peristiwa pelarungan ini banyak terjadi dan erat kaitanya dengan pekerja ABK illegal yang tidak memiliki izin pelarungan.